Posted by : anggi n saputra
Senin, 11 April 2016
Pengertian
Hukum Perikatan
Asal
kata perikatan dari obligatio (latin), obligation (Perancis, Inggris)
Verbintenis (Belanda = ikatan atau hubungan). Selanjutnya Verbintenis
mengandung banyak pengertian, di antaranya:Perikatan adalah hubungan hukum yang
terjadi di antara dua orang (pihak) atau lebih, yakni pihak yang satu berhak
atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi, begitu juga
sebaliknya.
Pihak
dalam suatu perikatan : kreditur dan debitur
Kreditur
: orang yang berhak menuntut sesuatu dari pihak lain
Debitur
: orang yang berkewajiban memenuhi tuntutan tersebut
Apabila
dalam suatu perikatan hanya ada satu debitur dan satu kreditur, dan sesuatu
yang dapat dituntut hanya satu hal serta dapat dilakukan seketika maka itu
adalah perikatan dalam bentuk yang paling sederhana yang dinamakan juga perikatan
bersahaja atau perikatan murni.
Bentuk
Perikatan lainnya :
1. Perikatan
bersyarat (Pasal 1253 – 1267 KUHPer)
Perikatan
bersyarat adalah perikatan yang digantungkan pada suatu peristiwa yang
masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi.
Ada
2 macam perikatan bersyarat :
a.
perikatan dengan syarat tangguh – perikatan ini baru lahir jika peristiwa
yang dimaksud atau disyaratkan itu terjadi. Perikatan lahir pada detik
terjadinya peristiwa tersebut.
Contoh :
saya berjanji akan menyewakan rumah saya kalau saya dipindahkan keluar negeri.
Artinya saya baru akan menyewakan rumah jika saya dipindahkan keluar negeri,
jika saya tidak dipindahkan, maka tidak ada perikatan untuk menyewakan rumah
saya.
b.
perikatan dengan syarat batal – perikatan yang sudah ada akan berakhir
jika peristiwa yang dimaksud itu terjadi.
Contoh :
saat ini saya menyewakan rumah saya kepada A dengan ketentuan sewa-menyewa ini
akan berakhir jika anak saya yang ada di luar negeri pulang ke tanah air.
Suatu
perjanjian adalah batal jika pelaksanaannya semata-mata tergantung pada kemauan
orang yang terikat (debitur). Suatu syarat yang berada dalam kekuasaan orang
yang terikat disebut juga syarat potestatif. Perjanjian seperti itu
tidak memiliki kekuatan hukum apapun (artinya tidak dapat dipaksa
pemenuhannya).
Contoh :
saya berjanji untuk menghadiahkan sepeda saya kepada Ali jika suatu saat
saya menghendakinya.
Suatu
perjanjian juga batal jika syaratnya tidak mungkin terlaksana,
bertentangan dengan kesusilaan, atau sesuatu yang dilarang UU.
Contoh
: saya berjanji akan memberi Amat sebuah rumah jika berhasil menurunkan bintang
dan bulan ke bumi atau kalau ia berhasil membakar rumahnya Ali atau kalau ia
melakukan sebuah perbuatan zina. Maka perjanjian itu tidak mempunyai kekutan
hukum apapun.
Jika
suatu perjanjian digantungkan pada syarat bahwa suatu peristiwa akan terjadi
pada waktu tertentu, maka syarat itu harus dianggap tidak terpenuhi jika batas
waktu itu sudah lewat dan peristiwa tersebut tidak terjadi.
Suatu
syarat batal selalu berlaku surut hingga saat lahirnya perjanjian. Syarat batal
adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi , menghentikan perjanjian yang sudah
ada dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak
pernah ada perjanjian (Pasal 1265 KUHPer). Artinya, si berpiutang wajib
mengembalikan apa yang sudah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan
itu terjadi.
2. Perikatan
dengan ketetapan waktu (Pasal 1268 – 1271 KUHPer)
Perikatan
ini tidak menangguhkan lahirnya perikatan, hanya menangguhkan pelaksanaannya,
ataupun menentukan lama waktu berlakunya suatu perjanjian atau perikatan itu.
Contoh
: saya akan menyewakan rumah saya per 1 Januari 2012 atau sampai 1 Januari
2012, maka perjanjian itu adalah suatu perjanjian dengan ketetapan waktu.
Contoh
lainnya: saya akan menjual rumah saya dengan ketentuan bahwa penghuni yang
sekarang meninggal dunia. Memang hampir sama dengan perjanjian bersyarat
tetapi perjanjian tadi adalah perjanjian dengan ketetapan waktu karena hal orang
meninggal adalah sesuatu yang pasti akan terjadi di masa depan. Sementara
perjanjian bersyarat adalah sesuatu yang belum pasti akan terjadi di masa
depan.
3. Perikatan
manasuka (alternatif) (pasal 1272 – 1277 KUHPer)
Dalam
perikatan manasuka si berutang(debitur) dibebaskan menyerahkan salah satu dari
dua barang atau lebih yang disebutkan dalam perjanjian, tetapi ia tidak boleh
memaksa si berpiutang untuk menerima sebagian dari barang yang satu dan
sebagian lagi dari barang yang lain. Hak memilih barang ini ada pada si
berutang, jika hak ini tidak secara tegas diberikan oleh si berpiutang.
Contoh
: saya mempunyai tagihan seratus ribu rupiah pada seorang petani.
Sekarang saya mengadakan suatu perjanjian dengannya bahwa ia akan saya bebaskan
dari utangnya jika ia menyerahkan kudanya atau 100kg berasnya.
Apabila
1 dari 2 barang itu musnah atau tidak dapat lagi diserahkan, maka perikatan itu
menjadi perikatan murni atau perikatan bersahaja.
Jika
semua barang itu hilang atau musnah akibat si berutang, maka si berutang wajib
membayar harga barang yang hilang terakhir
Jika
hak pilih ada pada si berutang, dan salah satu barang hilang atau musnah bukan
akibat salahnya si berutang, si berpiutang wajib mendapat barang yang satu
lagi.
Jika
salah satu barang hilang akibat salahnya si berutang, maka si berpiutang boleh
memilih barang yang satu lagi atau harga barang yang sudah hilang.
Jika
kedua barang hilang atau salah satu hilang akibat kesalahan si berutang, maka
si berpiutang boleh memilih sesuai pilihannya.
Asas-asas
di atas berlaku juga jika barang lebih dari dua ataupun perikatan untuk
melakukan suatu perbuatan.
4. Perikatan
tanggung-menanggung atau solider (Pasal 1278 – Pasal 1295 KUHPer)
Adalah
perikatan yang terdapat beberapa orang di salah satu pihak (lebih dari satu
debitur atau lebih dari satu kreditur).
Dalam
hal terdapat lebih dari satu debitur maka tiap-tiap debitur itu dapat dituntut
untuk memenuhi seluruh utang. Dengan sendirinya pembayaran yang dilakukan oleh
salah seorang debitur, membebaskan debitur lainnya.
Dalam
hal beberapa orang di pihak kreditur, maka tiap-tiap kreditur berhak menuntut
pembayaran seluruh utang. Pembayaran yang dilakukan kepada seorang kreditur,
membebaskan si berutang terhadap kreditur-kreditur lainnya.
5. Perikatan
yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi (Pasal 1296-1303 KUHPer)
Dapat
atau tidak dapat dibaginya suatu perikatan adalah tergantung dari apakah barang
nya dapat dibagi atau tidak serta penyerahannya dapat dibagi atau tidak.
Meskipun
barang atau perbuatan yang dimaksudkan sifatnya dapat dibagi, tetapi jika
penyerahan atau pelaksanaan perbuatan itu tidak dapat dilakukan
sebagian-sebagian, maka perikatan itu harus dianggap tidak dapat dibagi.
6. Perikatan
dengan ancaman hukuman (Pasal 1304 – 1312 KUHper)
Perikatan
dimana si berutang untuk jaminan pelaksanaan perjanjiannya, diwajibkan
melakukan sesuatu apabila perikatan awalnya tidak terpenuhi. Atau dengan kata
lain, perikatan yang ada hukumannya jika debitur tidak melakukan
kewajibannya.
Contoh
: A melakukan suatu perjanjian dengan B yang berprofesi sebagai kontraktor
untuk membangun sebuah apartemen. Pembangunan itu dalam perjanjian harus
selesai selama 2 tahun. Jika terlambat B akan dikenakan denda untuk mengganti
kerugian yang diderita A sebesar 20juta rupiah per bulan keterlambatannya.
Perikatan
dengan ancaman hukuman walaupun mirip dengan perikatan manasuka (karena ada dua
prestasi yang harus dipenuhi), sangatlah berbeda satu sama lain, karena dalam
perikatan dengan ancaman hukuman sebenarnya prestasinya hanya satu, kalau ia
lalai melakukan prestasi tersebut barulah muncul prestasi yang ditentukan
sebagai hukuman.
Hukuman
yang ditentukan biasanya sangatlah berat, bahkan terlampau berat. Menurut Pasal
1309 KUHPer, hakim bisa saja mengubah hukuman tersebut, bila perikatan awalnya
sudah dilakukan sebagian.
Ataupun
jika perikatannya belum dilakukan sama sekali, hakim dapat menggunakan Pasal
1338 ayat 3 dimana suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.